Rancangan KUHAP Buka Celah Korup, Aktivis Muda Ajak Mahasiswa dan Aktivis Lebih Kritis Perubahan Regulasi Hukum

SURABAYA – Fisip UIN Sunan Ampel Surabaya menggelar diskusi publik bertajuk “Politik Hukum Kajian Mahasiswa (Polhukam)”, dengan menghadirkan aktivis, praktisi hukum, dan akademisi membahas Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (Rancangan KUHAP).

Dalam forum ini, muncul kritik tajam terhadap penguatan asas dominus litis, yang memberikan kewenangan penuh kepada Kejaksaan dalam proses penuntutan perkara pidana.

Praktisi hukum Sulaiman, S.H., M.H., menyoroti bahwa dominus litis dalam KUHAP lama tidak memberikan fungsi penuh kepada Kejaksaan.

Sementara dalam rancangan terbaru, Sulaiman menilai ada sejumlah pasal yang justru semakin memperkuat kontrol Kejaksaan secara absolut, perubahan aturan semacam ini picu gejolak, terutama dalam sistem hukum dan politik di Indonesia yang dinilai tidak konsisten.

“Pasal 8A dan Pasal 8B Ayat 5, misalnya, menyatakan bahwa pemanggilan dan penangkapan hanya dapat dilakukan atas izin Jaksa Agung. Ini seolah-olah mengecilkan peran kepolisian dalam penyidikan, karena setiap tindakan harus mendapat persetujuan terlebih dahulu,” ungkap Sulaiman.

Ia menambahkan bahwa dominus litis ini berpotensi menciptakan Kejaksaan yang superpower dan tidak tersentuh, sehingga mahasiswa dan aktivis harus peka terhadap situasi ini.

Sorotan lain dalam diskusi adalah Pasal 12 Ayat 11, yang memungkinkan jaksa mengintervensi penyidikan apabila laporan masyarakat tidak ditindaklanjuti dalam 14 hari. Sulaiman menilai bahwa ketentuan ini dapat mengurangi independensi kepolisian dan memicu konflik antar lembaga penegak hukum.

“Kewenangan jaksa dalam mengontrol penyidikan, termasuk menentukan sah atau tidaknya penangkapan dan penyitaan, seharusnya berada di tangan hakim demi menjaga prinsip checks and balances,” tegasnya.

Dari sudut pandang aktivis, Founder Pinter Hukum, Ilham Fariduz Zaman, S.H., M.H., juga mengkritisi penguatan dominus litis dalam Rancangan KUHAP. Menurutnya, kekuasaan yang besar cenderung membuka celah bagi tindakan korupsi.

“Dalam konsep negara modern, tidak boleh ada lembaga dengan kewenangan yang lebih dominan dari yang lain. Setiap lembaga harus diatur secara proporsional agar tidak terjadi kesewenang-wenangan yang mengarah pada ketimpangan struktural,” ujarnya.

Ilham menegaskan bahwa asas dominus litis tidak lagi relevan dalam sistem hukum modern yang mengedepankan pemisahan kekuasaan.

“Jika satu lembaga memiliki kewenangan dari awal hingga akhir proses hukum, maka siapa yang akan melakukan kontrol terhadapnya? Inilah yang menjadi kekhawatiran utama,” katanya.

Ia juga mengingatkan bahwa perebutan kewenangan di antara lembaga negara sering kali berkaitan dengan kepentingan politik dan ekonomi, bukan semata-mata demi kepentingan hukum dan keadilan.

Dalam diskusi ini, muncul ajakan kepada mahasiswa dan aktivis untuk lebih kritis terhadap perubahan regulasi hukum, terutama yang berpotensi mengarah pada sistem peradilan pidana yang sentralistik.

“KUHAP adalah kerangka formil yang menjadi acuan dalam proses penegakan hukum. Jika kerangka ini masih menimbulkan perdebatan, maka kita membutuhkan regulasi yang lebih jelas agar tidak memunculkan masalah baru,” pungkas Sulaiman.

Dengan berbagai kritik yang muncul, diskusi publik ini menegaskan bahwa penguatan dominus litis dalam Rancangan KUHAP harus dikaji lebih mendalam agar tidak menciptakan ketimpangan kewenangan yang justru melemahkan prinsip keadilan dan independensi hukum di Indonesia.